Rabu, 02 Juli 2014

Apakah Indonesia Negara Kafir?



Logika Takfiri
Pemikiran jihadi takfiri muncul sejak masa klasik (kaum Khawarij) , dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah, hingga oleh pemikir modern seperti al-Mawdudi, Sayid Quthb, Abdus Salam Faragh, Abdullah Azzam, Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri, Kartosuwiryo, Abdullah Sungkar, hingga Abu Bakar Ba’asyir. Pemikiran dan gerakan jihadi dielaborasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan gerakan jihadi-takfiri radikal. Awalnya mereka mengkafirkan suatu sistem, misalnya demokrasi. Di sini, sistem Islam dibenturkan dengan sistem demokrasi. Karena demokrasi itu kafir, maka berubahlah menjadi Islam versus kafir. Berikutnya kekafiran harus diubah atau dimusnahkan, maka gerakan berlanjut untuk mengubahnya. Maka, tujuan gerakan jihadi-takfiri ini adalah untuk mengubah sistem yang tidak Islami menjadi sistem Islam di seluruh dunia. Dalam konteks Indoensia, logika mereka: karena sistem selain Islam adalah sistem kafir (thaghut), maka apapun negara yang bukan negara Islam adalah negara kafir. Karena Indonesia menerapkan sistem demokrasi Pancasila, maka Indonesia adalah negara kafir (thaghut).
Tidak hanya sampai di situ, bagi gerakan jihad, siapa saja yang tidak sejalan dengan mereka apapun agamanya adalah kafir. Karenanya jika ada tokoh, ulama, pemikir, atau umat Islam yang berbeda pendapat dengan mereka dan mendukung sistem demokrasi Pancasila, maka akan dinilai sesat, buruk, ahli bid’ah, bahkan dipandang pendukung thaghut (Ansharut Thaghut) yang dihukumi kafir. Keyakinan akan kekafirannya Negara Indonesia dan pendukungnya semakin diperkuat mereka dengan bukti adanya tindakan refresif, tekanan, penangkapan hingga pembunuhan terhadap aktivis jihadi. Oleh sebab itu, Negara thagut Indonesia layak diperangi dan digulingkan melalui perjuangan Jihad untuk kemudian diganti dengan Negara Islam. Pada posisi ini, jihad fardy seperti diungkap oleh Ustadz Fuad mendapatkan momentumnya, yang mana kewajiban jihad oleh setiap orang Islam secara praktis sudah layak dilakukan. Artinya, bagi sebagian jihadi, kondisi Indonesia saat ini sudah selayaknya pada kondisi wilayah perang (dar al-harb) sehingga jihad fardy sudah berlaku.
Namun, para pengusung gerakan jihadi ini menyadari, bahwa Islam tidak ada apa-apanya tanpa jamaah, dan jamaah tidak apa-apanya tanpa kekuasaan. Karena itu, kekuasaan negara adalah wajib dipegang oleh kaum muslim guna menerapkan Islam Kaffah secara formal, dan gerakan jihadi menjadi instrumen jihad fi sabilillah dalam perjuangan melawan sistem kafir.
Hal ini, terlihat dalam tulisan Ustadz Fuad berikutnya yang menawarkan solusi alternatif bagi gerakan jihadi-takfiri, yaitu menyudahi perdebatan dan fokus pada tindakan perlawanan. Berikut empat poin Solusi Alternatif yang beliau tawarkan :
1. Takfir adalah bentuk perlawanan terhadap thoghut sehingga seharusnya kita mencukupkan dulu pada titik-titik persamaan setidaknya untuk menghemat energy dan potensi untuk kemudian merumuskan bentuk perlawanan apa yang mungkin dan paling maksimal yang dapat kita lakukan secara bersama berdasarkan persamaan yang ada tanpa menghilangkan prinsip-prinsip pokok tauhid.
2. Bukankah dengan takfir secara umum pun sebenarnya perlawanan itu sudah harus dimulai tanpa harus menunggu rincian status masing-masing individu?
3. Lalu mengapa kita malah sibuk debat tanpa ujung pangkal padahal kita sudah sepakat tentang kekufuran Anshorut Thoghut dan wajibnya melakukan perlawanan?
4. Mengapa tidak segera kita rumuskan saja apa bentuk perlawanan yang bisa kita lakukan bersama?
Perhatikan, keempat poin di atas berisi satu himbauan yakni sudah saatnya gerakan-jihadi bergerak melakukan perlawanan terhadap Negara Indonesia dan pendukungnya (ansharut thaghut). Dalam poin-poin solusi alternatif ini terlihat dengan jelas bagaimana Ustadz Fuad beralih dari sisi teoritis ke sisi praktis. Yakni menurut beliau, saat ini tidak diperlukan lagi perdebatan di kalangan gerakan jihadi tentang kekafiran demokrasi, kekafiran aam atau mu’ayyan, serta kapan perlu dilakukan jihad, sebab, semua gerakan jihadi telah sepakat mengkafirkan Negara Indonesia dan para pendukungnya (ansharut thaghut). Yang penting saat ini, menurut Ustad Fuad adalah merumuskan bentuk perlawanan praktis terhadap Negara Indonesia.
Apa bentuk perlawanan yang semestinya kepada Negara Indonesia dan para pendukungnya ini? Apakah perlawanannya hanya sekedar dakwah, protes, dan penyadaran atau sudah perlu dengan melakukan tindakan kekerasan seperti peperangan, membunuh aparat, dan bom bunuh diri. Inilah yang tercermin dari poin-poin alternatif yang beliau tawarkan.
Ini berarti, Ustadz Fuad ingin mereduksi perbedaan pendapat yang ada dengan mengatakan bahwa karena telah disepakati bahwa sistem negara Indonesia adalah sistem kafir, maka para pendukungnya juga baik terang-terangan terlibat maupun tidak adalah kafir. Karena itu, pada titik ini, maka perbedaan apakah kekafiran itu bersifat umum (aam) atau individu (mu’ayyan) tidak perlu lagi terjadi. Artinya, tidak perlu lagi diselidiki secara khusus siapa yang dipastikan kekafirannya, baru dilakukan perlawanan. Perlawanan terhadap negara ini sudah layak dilakukan saat ini tanpa perlu menunggu dan meneliti lagi. Bahkan keinginanannya ini diperkuat di poin ketiga, yang mana dengan jelas tanpa tedeng aling-aling, Ustadz
Fuad menegaskan bahwa :
“mengapa kita malah sibuk debat tanpa ujung pangkal padahal kita sudah sepakat tentang kekufuran Anshorut Thoghut dan wajibnya melakukan perlawanan?”
Dan akhirnya pada poin keempat, Ustadz Fuad mengekspresikan keinginannya secara nyata, bahwa karena kekafiran telah jelas, maka tidak ada lagi hal yang perlu diperdebatkan. Yang ada saat ini adalah apa tindakan maksimal yang harus dilakukan secara bersama-sama. Secara silogisme jalannya pemikiran Ustadz Fuad bisa disederhanakan sebagai berikut :
- Indonesia adalah negara demokrasi yang kafir – Setiap mendukung negara demokrasi kafir termasuk ansharut thaghut – Berarti mendukung Indonesia termasuk ansharut thaghut – Dan setiap ansharut thagut termasuk kafir yang harus dilawan – Maka yang mendukung Indonesia termasuk kafir dan harus dilawan
Pemikiran reaksioner ini, tentu mengancam karena menyebarkan kebencian di tengah umat, yang berdampak pada konflik, merusak keutuhan negara dan integrasi bangsa. Gerakan jihadi-takfiri ini bertekad mengubah Republik Indonesia yang dinilai tidak islami, dan memandangnya sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam. Poin-poin Ustadz Fuad di atas mengindikasikan bahwa mereka ingin mempersiapkan gerakan yang lebih maksimal dari sekedar pengkafiran (takfir). Apakah perlawanannya dalam bentuk dakwah, protes, penyadaran saja atau sudah pada tahap melakukan tindakan kekerasan seperti peperangan, membunuh aparat, dan bom bunuh diri atau bahkan mungkin dalam skala yang lebih luas yaitu pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia yang telah dinilai kafir? Mereka dengan semena-mena mereduksi konsep jihad hanya semata-mata sebagai perjuangan menegakkan Negara Islam, dan dalam kondisi frustasi, menjadi ungkapan emosi, kemarahan, dan ekspresi yang menebarkan teror.
Gerakan jihadi model ini, adalah merupakan produk dari pendidikan yang kolot dan fanatisme buta keagamaan dikarenakan pengalaman hidup yang frustasi dengan kondisi sosio-politik yang ada. Lebih dari satu abad yang lalu Adib Ishaq (w.1885) dalam at-Ta’ashshub wa at-Tashahul (1871) sudah mengingatkan kita semua tentang bahayanya fanatisme keagamaan yang dipicu oleh hegemoni politik yang despotik, yakni fanatisme yang bermetamorfosis menjadi radikalisme agama. Menurutnya, fanatisme adalah pikiran seseorang yang merasa benar sendiri, yang merupakan gejala psikologis yang muncul dari perasaan ingin mempertahankan status quo dan keyakinan buta disebabkan oleh kebodohan atau pun kepentingan pragmatis. Muhammad Arkoun menyebut fanatisme beragama ini sebagai penyakit mental (al-sharamah al-aqliyah). Mereka dengan mudah menyesatkan dan mengkafirkan kelompok lain, serta bersikap intoleran dan tindakan kekerasan atas nama agama. Agama harus dilindungi walaupun harus mengorbankan dirinya atau orang lain yang dinilai menyimpang. Dari sinilah, kesakralan agama dan keimanan seolah sah meminta korban. Di titik ini, Arkoun melihat adanya keterkaitan antara terorisme dan fanatisme. (Masduqi, 2013: 165-166)

0 komentar:

Posting Komentar